Sabtu, 12 Januari 2013

Man Power PT. Multi Prima (Shipyard)





Human Resource Development

Human Resource Development

Human Resources Development (HRD) as a theory is a framework for the expansion of human capital within an organization through the development of both the organization and the individual to achieve performance improvement. Adam Smith states, “The capacities of individuals depended on their access to education”. The same statement applies to organizations themselves, but it requires a much broader field to cover both areas.
Human Resource Development is the integrated use of training, organization, and career development efforts to improve individual, group and organizational effectiveness. HRD develops the key competencies that enable individuals in organizations to perform current and future jobs through planned learning activities. Groups within organizations use HRD to initiate and manage change. Also, HRD ensures a match between individual and organizational needs.

Resources

Understanding the foundations of HRD can be found in "Brief Foundations of Human Resource Development" by Richard A. Swanson.
A detailed PowerPoint and HTML overview of Foundations of Human Resource Development,a textbook used in graduate courses, may be found at http://textbookresources.net/.
Five journals that emphasize human resource development issues include:
Advances in Developing Human Resources: http://adh.sagepub.com/
Human Resource Development International: http://www.tandfonline.com/toc/rhrd20/current
Human Resource Development Quarterly: http://onlinelibrary.wiley.com/journal/10.1002/(ISSN)1532-1096
Human Resource Development Review: http://hrd.sagepub.com/
T&D Magazine: http://www.astd.org/Publications/Magazines/TD


Process, Practice and Relation to Other Fields

Notably, HRD is not only a field of study but also a profession.HRD practitioners and academia focus on HRD as a process. HRD as a process occurs within organizations and encapsulates: 1) Training and Development (TD), that is, the development of human expertise for the purpose of improving performance, and 2) Organization Development (OD), that is, empowering the organization to take advantage of its human resource capital.TD alone can leave an organization unable to tap into the increase in human, knowledge or talent capital. OD alone can result in an oppressed, under-realized workforce. HRD practicitioners find the interstices of win/win solutions that develop the employee and the organization in a mutually beneficial manner. HRD does not occur without the organization, so the practice of HRD within an organization is inhibited or promoted upon the platform of the organization's mission, vision and values.
Other typical HRD practices include: Executive and supervisory/management development, new employee orientation, professional skills training, technical/job training, customer service training, sales and marketing training, and health and safety training.
HRD positions in businesses, health care, non-profit, and other field include: HRD manager, vice president of organizational effectiveness, training manager or director, management development specialist, blended learning designer, training needs analyst, chief learning officer, and individual career development advisor.




 

Jumat, 11 Januari 2013

3D Rendering


3D Rendering merupakan proses untuk membentuk sebuah gambar dari sebuah model yang dibentuk oleh perangkat lunak animasi, model tersebut berisi data geometri, titik pandang, tekstur dan cahaya yang diperlukan untuk membuat gambar yang utuh.
3D Rendering merupakan proses yang sangat penting dan telah digunakan untuk berbagai macam penggunaan, seperti program permainan komputer, efek spesial pada film dan program simulasi.

Hasil Proses 3D Rendering
Terdapat banyak hasil yang dapat diperoleh dan ditampilkan dari proses 3D Rendering pada suatu sketsa wireframe, diantaranya :

Shading = Variasi warna dan kecerahan yang timbul pada suatu permukaan berdasarkan pencahayaan yang   dilakukan
Texture-Mapping = Detail yang muncul pada suatu permukaan
Bump-Mapping = Kontur yang muncul pada suatu permukaan
Fogging / Participating Medium = Bagaimana berkas cahaya berubah jika melewati udara yang tidak murni
Shadows = Efek dari cahaya yang terhalang
Soft Shadows = Variasi efek dari cahaya yang terhalang tidak sempurna
Reflection = Refleksi yang tampak pada permukaan kaca atau gelas
Transparency = Transmisi cahaya yang berbeda-beda jika melewati medium tertentu
Translucency = Transmisi cahaya yang berbeda-beda jika memantul pada medium tertentu
Refraction = Cahaya yang berubah arahnya karena efek transparency
Indirect Illumination = Cahaya yang datang pada suatu objek namun tidak berasal dari sumber cahaya yang sebenarnya melainkan refleksi dari permukaan objek lain
Caustics = Pantulan cahaya menyilaukan yang timbul pada suatu objek
Depth Of Field = Objek yang berada jauh di depan maupun di belakang objek yang menjadi fokus akan tampak buram
Motion Blur = Objek yang bergerak dengan kecepatan tinggi atau objek yang direkam oleh kamera yang berada dalam kecepatan tinggi akan tampak buram
Photorealistic Morphing = Teknik yang memungkinkan hasil proses render objek 3D menjadi tampak terlihat lebih nyata
Non-Photorealistic Rendering = Teknik yang memungkinkan hasil proses render objek 3D menjadi terlihat seperti hasil lukisan atau gambar

Minggu, 11 September 2011

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Pernahkah anda membaca surat Ar-Rahman? Surat ar-Rahman adalah surat ke 55 dalam urutan mushaf utsmany dan tergolong dalam surat Madaniyah serta berisikan 78 ayat. Satu hal yang menarik dari kandungan surat ar-Rahman adalah adanya pengulangan satu ayat yang berbunyi "fabiayyi alai rabbikuma tukadziban" (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?). Kalimat ini diulang berkali-kali dalam surat ini. Apa gerangan makna kalimat tersebut?
Surat ar-Rahman bagi saya adalah surat yang memuat retorika yang amat tinggi dari Allah. Setelah Allah menguraikan beberapa nikmat yang dianugerahkan kepada kita, Allah bertanya: "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?". Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah menggunakan kata "dusta"; bukan kata "ingkari", "tolak" dan kata sejenisnya. Seakan-akan Allah ingin menunjukkan bahwa nikmat yang Allah berikan kepada manusia itu tidak bisa diingakri keberadaannya oleh manusia. Yang bisa dilakukan oleh manusia adalah mendustakannya. Dusta berarti menyembunyikan kebenaran. Manusia sebenarnya tahu bahwa mereka telah diberi nikmat oleh Allah, tapi mereka menyembunyikan kebenaran itu, mereka mendustakannya!
Bukankah kalau kita mendapat uang yang banyak, kita katakan bahwa itu akibat kerja keras kita, kalau kita berhasil menggondol gelar Ph.D itu dikarenakan kemampuan otak kita yang cerdas, kalau kita mendapat proyek maka kita katakan bahwa itulah akibat kita pandai melakukan lobby. Singkat kata, semua nikmat yang kita peroleh seakan-akan hanya karena usaha kita saja. Tanpa sadar kita lupakan peranan Allah, kita sepelekan kehadiran Allah pada semua keberhasilan kita dan kita dustakan bahwa sesungguhnya nikmat itu semuanya datang dari Allah.
Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan!
Anda telah bergelimang kenikmatan, telah penuh pundi-pundi uang anda, telah berderet gelar di kartu nama anda, telah berjejer mobil di garasi anda, ingatlah--baik anda dustakan atau tidak--semua nikmat yang anda peroleh hari ini akan ditanya oleh Allah nanti di hari kiamat!
"Sungguh kamu pasti akan ditanya pada hari itu akan nikmat yang kamu peroleh saat ini" (QS 102: 8)

Selasa, 06 September 2011

ARSITEKTUR ISLAM

Arsitektur Islam

ABSTRAK

Manusia sebagai khalifah, dalam hal ini berkaitan dengan fungsi arsitek, memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan, mengelola alam untuk melakukan aktivitasnya di muka bumi, dengan prinsip keseimbangan dan keselarasan. Arsitektur sebagai salah satu bidang keilmuan, hendaknya juga berpijak pada nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Qur’an. Wujud arsitektur yang muncul dari kreasi seorang arsitek, hendaknya melambangkan nilai-nilai Islam. Artinya, wujud arsitektur yang hadir tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, ketentuan syariah, dan tentu saja nilai-nilai akhlakul karimah.
Pemaknaan dalam realita kehidupan, baik secara vertikal maupun horisontal, akan dipandang lebih berarti pada sebuah karya arsitektur yang mempunyai landasan akhlakul karimah di dalamnya. Suatu karya arsitektur akan lebih bermakna jika mengusung nilai-nilai Islam dalam konsep perancangannya. Nilai Islam yang diterapkan pada “Arsitektur Islam” menghasilkan perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya. Hasil karya yang bermakna inilah yang akan mewujud menjadi suatu bentuk peradaban baru yang islami dan membawa kebaikan bagi umat manusia.
Tulisan ini menggambarkan bahwa ternyata karya-karya arsitektur Islam di berbagai penjuru dunia yang dilandasi oleh akhlak dan perilaku Islami, tidak mempunyai representasi bentuk yang satu dan seragam. Walaupun demikian, keberagaman dan kekayaan bentuk itu disatukan oleh satu tujuan, yaitu sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dari keberagaman tersebut, dapat tercipta satu kekayaan khasanah arsitektur Islam dalam suatu peradaban yang islami, yang akan membawa manusia pada rahmatan lil alamiin.
Kata Kunci : Arsitektur Islam, akhlakul karimah, peradaban islami
PENDAHULUAN
Kehadiran arsitektur berawal dari manfaat dan kebutuhan-kebutuhan sebuah bangunan untuk melayani fungsi-fungsi tertentu, yang diekspresikan oleh seorang arsitek melalui gambar kerja. Kebutuhan sebuah bangunan akan ruang-ruang dalam lingkup interior maupun eksterior, bermula pada sebuah kebutuhan dari pengguna bangunan (Fikriarini, 2006: 7). Selain itu, arsitektur juga merupakan bagian dari seni, karena arsitektur tidak lepas dari rasa. Hal ini menyebabkan pengertian arsitektur terus berkembang dan dipengaruhi oleh cara berpikir, cara membuat, cara meninjau, dan budaya.
Definisi arsitektur baru akan dapat dimengerti setelah kita mengalami arsitektur, atau berarsitektur. Berarsitektur artinya berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan bahan material dan suasana tempat. Berarsitektur adalah berbahasa manusiawi; dengan citra unsur–unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta komposisinya. Dalam berarsitektur, seorang arsitek tidak pernah lepas dari alam, lingkungan sekitar, dan budaya setempat. Hal ini disebabkan karena arsitektur merupakan bagian dari budaya yang menunjukkan tingkat peradaban manusia. Budaya manusia tersebut sangat dipengaruhi oleh alam, dan karenanya arsitektur dengan sendirinya juga merupakan bagian dari alam, mampu membaca alam dan menciptakan sebuah suasana.
Beberapa pengertian arsitektur terkait dengan karya arsitek, baik itu berupa olahan fungsi ke dalam bentuk dan ruang yang terangkum menjadi satu. Fungsi merupakan pengertian yang sederhana dari kegunaan. Fungsi juga dapat dimaknai sebagai suatu cara untuk memenuhi keinginan yang timbul akibat adanya kebutuhan manusia dalam mempertahankan dan mengembangkan hidupnya (library.gunadarma.ac.id/files/disk1/8/). Walaupun begitu, karya arsitektur bukanlah sekedar masalah fungsi, ruang dan bentuk. Lebih dari itu, arsitektur mampu merangkum seni dalam satu bagian yang utuh untuk menghadirkan sebuah keindahan (Fikriarini dan Putrie, 2006: 10-11).
Arsitektur sebagai salah satu bidang keilmuan, hendaknya juga selalu berpijak pada nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Qur’an. Al-Qur’an tentunya merupakan dasar bagi pengembangan berbagai bidang keilmuan, salah satunya keilmuan arsitektur. Wujud arsitektur yang muncul sebagai hasil kreasi seorang arsitek, hendaknya melambangkan nilai-nilai Islam. Artinya, wujud arsitektur yang dihasilkan tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, ketentuan syariah, dan tentu saja nilai-nilai akhlakul karimah. Kita dapat melihat karya-karya arsitektur Islam di berbagai belahan dunia dengan tujuan yang satu, yaitu untuk beribadah dan berserah diri kepada Allah. Walaupun demikian, dalam tataran bentuk arsitektur Islam yang dilandasi oleh kesatuan tujuan dan nilai-nilai islami itu tidak hadir dalam representasi bentuk fisik yang satu dan seragam, melainkan hadir dalam bahasa arsitektur yang beragam.
Ditinjau secara keseluruhan, arsitektur telah muncul di mana dia dibutuhkan serta tidak terbatas di mana dia didirikan. Arsitektur pun turut mempengaruhi muncul dan tenggelamnya suatu kebudayaan dan peradaban. Masyarakat muslim sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia pun tidak ketinggalan dalam menyemarakkan peradaban dengan arsitektur yang mencerminkan worldview dan nilai-nilai Islam sepanjang sejarah perkembangan dan perjalanannya di muka bumi ini. Dalam Islam, arsitektur merupakan bagian dari karya seni yang tidak pernah lepas dari keindahan yang merujuk pada kebesaran Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Hal ini memberi kesadaran, bahwa kita sebagai manusia hanyalah hamba yang kecil dan tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kebesaran Allah. Bahkan lebih jauh, rasa kekaguman kita terhadap keindahan dan estetika dalam arsitektur tak boleh lepas dari kepasrahan dan penyerahan diri kita terhadap kebesaran dan keagungan Allah sebagai Dzat pemilik segala keindahan. 

METODE KAJIAN

Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendataan yang dilakukan secara sekunder. Pendataan sekunder dilakukan dengan cara studi literatur yang terkait dan terintegrasi, menjadi sebuah rangkuman kajian; Literatur dapat berbicara tentang arsitektur-arsitektur islam, nilai-nilai islam dalam arsitektur, yang didapat dari jurnal, teks book, artikel serta informasi yang digali dari al-Qur’an dan Hadits.

PEMBAHASAN 

A. Arsitektur Islam

Arsitektur Islam merupakan wujud perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan dan Penciptanya. Arsitektur Islam mengungkapkan hubungan geometris yang kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat dalam. Arsitektur Islam merupakan salah satu jawaban yang dapat membawa pada perbaikan peradaban. Di dalam Arsitektur Islam terdapat esensi dan nilai-nilai Islam yang dapat diterapkan tanpa menghalangi pemanfaatan teknologi bangunan modern sebagai alat dalam mengekspresikan esensi tersebut.
Perkembangan arsitektur Islam dari abad VII sampai abad XV meliputi perkembangan struktur, seni dekorasi, ragam hias dan tipologi bangunan. Daerah perkembangannya meliputi wilayah yang sangat luas, meliputi Eropa, Afrika, hingga Asia tenggara. Karenanya, perkembangannya di setiap daerah berbeda dan mengalami penyesuaian dengan budaya dan tradisi setempat, serta kondisi geografis. Hal ini tidak terlepas dari kondisi alam yang mempengaruhi proses terbentuknya kebudayaan manusia.
Arsitektur yang merupakan bagian dari budaya, selalu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Oleh karena itu, Islam yang turut membentuk peradaban manusia juga memiliki budaya berarsitektur. Budaya arsitektur dalam Islam dimulai dengan dibangunnya Ka’bah oleh Nabi Adam as sebagai pusat beribadah umat manusia kepada Allah SWT (Saoud, 2002: 1). Ka’bah juga merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di bumi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Mereka berdua memugar kembali bangunan Ka’bah. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW melanjutkan misi pembangunan Ka’bah ini sebagai bangunan yang bertujuan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Dari sinilah budaya arsitektur dalam Islam terus berkembang dan memiliki daya dorong yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta mencapai arti secara fungsional dan simbolis. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 96 :“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Arsitektur Islam adalah cara membangun yang Islami sebagaimana ditentukan oleh hukum syariah, tanpa batasan terhadap tempat dan fungsi bangunan, namun lebih kepada karakter Islaminya dalam hubungannya dengan desain bentuk dan dekorasi. Definisi ini adalah suatu definisi yang meliputi semua jenis bangunan, bukan hanya monumen ataupun bangunan religius (Saoud, 2002: 2).
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Arsitektur Islam merupakan salah satu gaya arsitektur yang menampilkan keindahan yang kaya akan makna. Setiap detailnya mengandung unsur simbolisme dengan makna yang sangat dalam. Salah satu makna yang terbaca pada arsitektur Islam itu adalah bahwa rasa kekaguman kita terhadap keindahan dan estetika dalam arsitektur tidak terlepas dari kepasrahan dan penyerahan diri kita terhadap kebesaran dan keagungan Allah sebagai Dzat yang memiliki segala keindahan. Bahkan sejak jaman Nabi Sulaiman AS, telah dibangun suatu karya arsitektur yang menampilkan keindahan dan kemegahan itu. Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Naml 44: “Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana”. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”.
Dengan segala keindahan, kemegahan, dan kedalaman maknanya, arsitektur Islam yang pernah berjaya dan menjadi salah satu tonggak peradaban dunia memiliki beberapa potensi yang dapat mencerahkan kembali kejayaan Islam yang selama beberapa abad terakhir ini mengalami kemunduran. Potensi-potensi ini bukan hanya ditujukan untuk menghadapi pengaruh dari kebudayaan barat yang mengglobal dan menginginkan persamaan identitas dari berbagai budaya, namun juga untuk kepentingan pengembangan arsitektur Islam sendiri.
Lebih jauh, apabila kita telaah secara mendalam, arsitektur Islam lebih mengusung pada nilai-nilai universal yang dimuat oleh ajaran Islam. Nilai-nilai ini nantinya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa arsitektur dan tampil dalam berbagai bentuk tergantung konteksnya, dengan tidak melupakan esensi dari arsitektur itu sendiri, serta tetap berpegang pada tujuan utama proses berarsitektur, yaitu sebagai bagian dari beribadah kepada Allah. 

B. Al-Qur’an dan Seni

Di dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam, tujuan akhir dari berbagai keilmuan harus dilihat dan didasarkan pada al-Qur’an al-Karim, kitab suci umat Islam. Pada dasarnya, kebudayaan Islam dengan arsitektur Islam sebagai salah satu bagiannya, merupakan “budaya Qur’ani” (Al-Faruqi, 1999: 3). Karenanya, baik definisi, struktur, tujuan maupun metode untuk mencapai tujuan tersebut secara keseluruhan diambil darinya.
Dari al-Qur’an yang menjadi tuntunan, panduan hidup dan sumber keilmuan bagi umat Nabi Muhammad ini, seorang muslim tidak hanya mengambil pengetahuan mengenai Realitas Ultima (Al-Faruqi, 1999: 3). Secara mendasar, prinsip-prinsip yang diambil dari al-Qur’an juga mencakup tentang alam, manusia, dan makhluk hidup lainnya. Berbagai ilmu pengetahuan juga tercantum dalam al-Qur’an, baik secara implisit maupun eksplisit di berbagai institusi sosial, politik serta ekonomi yang diperlukan untuk menjalankan masyarakat yang sehat, sehingga al-Qur’an diperlukan di setiap pengetahuan dan aktivitas manusia, termasuk juga di bidang keilmuan arsitektur. Di dalam kitab itu, prinsip-prinsip dasar sudah disediakan bagi pembentukan sebuah kebudayaan yang lengkap, tentu saja termasuk bidang arsitektur.
Hal bukan berarti bahwa penjelasan dan uraian yang spesifik dan jelas tentang berbagai usaha manusia tersebut telah termuat dalam kitab suci yang memuat 114 surat ini. Al-Qur’an tentu tidak menyebutkan secara detail dan jelas bagaimana arsitektur yang islami itu. Walaupun begitu, secara implisit di dalamnya terdapat suatu penjelasan yang menjadi dasar dan acuan tentang bagaimana idealnya suatu lingkungan, bagaimana sistem nilai, batasan dan aturan pergaulan antara pria dan wanita, dan sebagainya. Hal yang tidak kalah penting adalah di dalamnya juga termuat konsep keindahan bangunan, yang dicontohkan dengan menggambarkan keindahan bangunan-bangunan di surga, seperti yang diceritakan di dalam surat al-Waqi’ah.
Konsep keindahan yang terwujud dalam berbagai bidang tersebut biasa kita sebut dengan seni dan kesenian. Dalam arsitektur, seni mempunyai posisi yang sangat penting. Bahkan pada awal berkembangnya, keilmuan arsitektur termasuk dalam bidang seni murni, bukan seperti pada saat ini, dimana arsitektur merupakan penggabungan antara ilmu, seni dan teknologi. Arsitektur merupakan sarana untuk mewujudkan wadah bagi aktivitas manusia dengan menggabungkan berbagai sudut pandang keilmuan, termasuk budaya dan tentu saja seni. Dalam Islam, aspek seni dalam kebudayaan Islam harus juga dilihat sebagai ekspresi estetis dari al-Qur’an. Seni Islam tidak lain adalah seni Qur’ani. Seni Qur’ani inilah yang nantinya juga akan mendukung terwujudnya arsitektur Islam sebagai salah satu unsurnya yang penting. Di dalam buku ”Seni Tauhid” karya Ismail Raji Al-Faruqi, terdapat beberapa alasan Al-Qur’an dapat menjadi dasar dari karya seni (Al-Faruqi, 1999: 3), sebagai berikut:
1. Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penjelas tauhid atau transendensi
2. Al-Qur’an sebagai model seni
3. Al-Qur’an sebagai ikonografi artistik

C. Seni Ruang dan Arsitektur

Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, arsitektur termasuk di dalam seni ruang dalam esensi seni menurut Islam, hal ini dikarenakan arsitektur merupakan seni visual yang mendukung kemajuan peradaban Islam (Al-Faruqi, 1999: 158). Di dalam seni ruang, terdapat cabang lain yang termasuk mendukung di dalamnya yaitu seni rupa. Keberadaan seni ruang yang di dalamnya terdapat bidang arsitektur merupakan satu hal yang cukup penting. Hal ini juga didasarkan pada seni dalam pandangan al-Qur’an, sehingga pembangunan fisik peradaban ini senantiasa selalu berlandaskan nilai-nilai Islam dalam al-Qur’an, yang juga berfungsi sebagai landasan pembangunan peradaban yang berupa akhlaq dan perilaku. Hal ini sangatlah penting untuk mewujudkan kembali nilai-nilai Islam ke dalam tatanan pembangunan peradaban di dunia, yang tidak hanya membangun peradaban secara fisik, tetapi juga secara mental, pola pikir, semangat, akhlaq dan pola perilaku yang berlandaskan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an.
Semangat untuk kembali pada pandangan dan konsep pembangunan dan keindahan berdasarkan al-Qur’an inilah yang terdapat dalam arsitektur Islam. Setiap karya dalam bidang arsitektur yang merupakan perwujudan fisik dari suatu peradaban, tidak hanya dipandang indah dan megah dari segi material atau fisik saja, melainkan bagaimana esensi keindahan tersebut dapat muncul dari suatu kebersahajaan atau kesederhanaan, atau dapat saja keindahan tersebut memang berasal dari suatu yang megah yang terinspirasi dari keindahan surgawi. Hal yang tidak kalah penting adalah, bagaimana berbagai versi keindahan itu dapat mengingatkan kita akan KemahaBesaran Allah, bahwa Allah adalah Dzat Maha Agung yang patut kita sembah dan menyadarkan esensi kita sebagai hamba Allah.
Pengembangan seni ruang, termasuk di dalamnya arsitektur, berdasar pada nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an, apabila diterjemahkan secara fisik, memiliki beberapa ciri utama. Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, ciri utama yang digolongkan dalam empat kategori tersebut didasarkan pada ciri-ciri utama yang dimiliki semua seni Islam (Al-Faruqi, 1999:158), yaitu sebagai berikut:
1. Unit-unit isi
2. Arsitektur atau struktur dengan ruang interior
3. Lanskaping (holtikultura maupun akuakultura)
4. Desain kota dan desa
Menurut Ismail Raji Al Faruqi pula, ajaran tauhid yang dapat menstimulasi kesan infinitas dan transendensi melalui isi dan bentuk estetis dapat direpresentasikan dalam karya seni Islam, yang ciri-ciri di dalamnya mengandung kaidah-kaidah sebagai berikut :
1. Abstraksi
2. Unit/Modul
3. Kombinasi suksesif
4. Pengulangan
5. Dinamisme
6. Kerumitan

Kesimpulan

Beberapa contoh di atas memberikan satu pelajaran, bahwa perilaku dan akhlak yang dilandasi nilai-nilai Islam yang mendasari lahirnya karya arsitektur Islam, tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu. Kita dapat melihat karya-karya arsitektur Islam di berbagai belahan dunia dengan tujuan yang satu, yaitu untuk beribadah dan berserah diri kepada Allah. Lebih lanjut, terwujudnya beberapa hasil karya arsitektur Islam yang didasari nilai-nilai Islam dapat pula membentuk satu perilaku dan akhlak yang menuju kepribadian dan citra diri Islam yang dibentuk dari lingkungan tersebut.
Arsitektur Islam yang dilandasi oleh akhlak dan perilaku Islami tidak mempunyai representasi bentuk yang satu dan seragam, tetapi arsitektur Islam mempunyai bahasa arsitektur yang berbeda, tergantung dari konteks dimana dan apa fungsi dari bangunan yang didirikan tersebut. Karya arsitektur Islam tidak pula dibatasi oleh wilayah benua dan negara, karena kita akan melihat kekayaan arsitektur Islam dari keragaman tempat yang membawa ciri khas dari wilayah masing-masing negara tersebut. Dari keberagaman tersebut, akhirnya dapat dihadirkan satu kekayaan khazanah arsitektur Islam yang melandasi lahirnya peradaban Islam yang membawa manusia pada rahmatan lil alamin.

Senin, 05 September 2011

ARSITEKTUR

Arsitektur

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

Sejarah

Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan (kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dsb), dan cara (bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi). Arsitektur prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi lisan dan praktik-praktik, arsitektur berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap ini lah terdapat proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil yang sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figur penting, ia semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur Vernakular lahir dari pendekatan yang demikian dan hingga kini masih dilakukan di banyak bagian dunia.

Permukiman manusia di masa lalu pada dasarnya bersifat rural. Kemudian timbullah surplus produksi, sehingga masyarakat rural berkembang menjadi masyarakat urban. Kompleksitas bangunan dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru seperti sekolah, rumah sakit, dan sarana rekreasi pun bermunculan. Arsitektur Religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur berkembang, dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya tulis tersebut menjadi kumpulan aturan (kanon) untuk diikuti khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh kanon ini antara lain adalah karya-karya tulis oleh Vitruvius, atau Vaastu Shastra dari India purba. Di periode Klasik dan Abad Pertengahan Eropa, bangunan bukanlah hasil karya arsitek-arsitek individual, tetapi asosiasi profesi (guild) dibentuk oleh para artisan / ahli keterampilan bangunan untuk mengorganisasi proyek.

Pada masa Pencerahan, humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan kepada arsitek-arsitek individual - Michaelangelo, Brunelleschi, Leonardo da Vinci - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek, maupun insinyur atau bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih bersifat umum.

Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari berbagai bidang ilmu (misalnya engineering), dan munculnya bahan-bahan bangunan baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan menuju ke estetika. Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, Ecole des Beaux Arts di Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar cantik tanpa menekankan konteksnya.

Sementara itu, Revolusi Industri membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.

Ketidakpuasan terhadap situasi sedemikian pada awal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari Arsitektur Modern, antara lain, Deutscher Werkbund (dibentuk 1907) yang memproduksi obyek-obyek buatan mesin dengan kualitas yang lebih baik merupakan titik lahirnya profesi dalam bidang desain industri. Setelah itu, sekolah Bauhaus (dibentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat arsitektur sebagai sintesa seni, ketrampilan, dan teknologi.

Ketika Arsitektur Modern mulai dipraktikkan, ia adalah sebuah pergerakan garda depan dengan dasar moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran dicari dengan menolak sejarah dan menoleh kepada fungsi yang melahirkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur penting dan dijuluki sebagai "master". Kemudian arsitektur modern masuk ke dalam lingkup produksi masal karena kesederhanaannya dan faktor ekonomi.

Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan mutu dalam arsitektur modern pada tahun 1960-an, antara lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui Arsitektur Post-Modern dengan usaha membentuk arsitektur yang lebih dapat diterima umum pada tingkat visual, meski dengan mengorbankan kedalamannya. Robert Venturi berpendapat bahwa "gubuk berhias / decorated shed" (bangunan biasa yang interior-nya dirancang secara fungsional sementara eksterior-nya diberi hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah "bebek / duck" (bangunan di mana baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi dasar pendekatan Arsitektur Post-Modern.

Sebagian arsitek lain (dan juga non-arsitek) menjawab dengan menunjukkan apa yang mereka pikir sebagai akar masalahnya. Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologi untuk mencapai lingkungan yang dapat ditempati. Design Methodology Movement yang melibatkan orang-orang seperti Chris Jones atau Christopher Alexander mulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Peneilitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku, lingkungan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.

Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan,arsitektur menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi arsitek sekarang ini. Namun demikian, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam perancangan bangunan yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan eksperimentasi gaya dekonstruktivis sekarang ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.

Kesimpulan

bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu.